Berdakwah Dengan Empati (Renungan)
Suatu hari datang serombongan budak ke rumah Hasan al-Bashri, salah seorang ulama terkenal.
Rombongan
itu mengeluhkan atas sedikitnya orang-orang yang mau memerdekakan
budak. Bahkan, terlihat banyak di antara umat Islam yang tak
menghiraukan keutamaan ini.
Karena itu, kedatangan para budak ini, untuk meminta Hasan al-Bashri untuk berkhotbah dan mengajak umat Islam agar mau memerdekakan para budak.
Namun, permintaan para budak itu tak serta-merta dilaksanakan Hasan al-Bashri. Jumat demi Jumat berlalu, namun tak jua ada khotbah soal itu. Akibatnya, para budak itu mengira, ulama besar ini telah menelantarkan dan melalaikan urusan mereka.
Beberapa pekan kemudian, Hasan al-Bashri naik ke mimbar dan berkhotbah mengenai pentingnya memerdekakan budak. Seusai berkhotbah, orang-orang pulang ke rumah masing-masing. Dari kediaman mereka terdengar suara kegembiraan. Rupanya, tuan rumah atau majikan para budak memerdekakan mereka secara besar-besaran.
Setelah itu, rombongan budak yang dahulu datang kepada Hasan al-Bashri, datang kembali kepadanya. Selain menyampaikan terima kasih, mereka menanyakan mengapa harus menunggu lama untuk mendengarkan khotbahnya yang berkaitan dengan kemerdekaan budak tersebut.
Mendengar hal itu, Hasan al-Bashri pun berkata, “Saya tidak memiliki seorang budak. Karenanya, saya menunggu sampai saya memiliki seorang budak. Kemudian, setelah memerdekakannya, saya berkhotbah di depan orang-orang mengenai kemerdekaan budak.”
Kisah di atas, memberikan pelajaran yang sangat besar, terutama bagi para pendakwah, bahwa seorang dai harus menghayati dan merasakan situasi dan kondisi audiensinya (jamaahnya) sebelum memberikan nasihat kepada mereka.
Dengan kata lain, seorang dai harus berdakwah dengan empati. Metode dakwah seperti inilah yang dilakukan Rasulullah SAW dalam mengajak manusia menuju jalan Allah SWT. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin,” (QS. at-Taubah [9]: 128).
Hal ini harus dilakukan karena obyek dakwah adalah manusia yang sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk bergerak dan merespons.
Ketika seorang dai mampu merasakan dan menghayati situasi serta kondisi jamaahnya, niscaya dakwahnya akan berbobot. Bukan hanya karena ia telah memberikan keteladanan, tapi juga karena apa yang disampaikannya merupakan bahasa hati.
Ia mengetahui perasaan hati jamaah ketika ia menyampaikan dakwahnya. Nasihat yang menyentuh hati itulah yang mampu dan diikuti oleh jamaah dari seorang dai.
Untuk itu, mari kita jadikan hal ini sebagai bekal dalam berdakwah. Sehingga, dakwah para dai mampu menjadi sarana tergeraknya umat dalam menjalankan ajaran Islam dengan baik dan benar. Wallahu a’lam.
Karena itu, kedatangan para budak ini, untuk meminta Hasan al-Bashri untuk berkhotbah dan mengajak umat Islam agar mau memerdekakan para budak.
Namun, permintaan para budak itu tak serta-merta dilaksanakan Hasan al-Bashri. Jumat demi Jumat berlalu, namun tak jua ada khotbah soal itu. Akibatnya, para budak itu mengira, ulama besar ini telah menelantarkan dan melalaikan urusan mereka.
Beberapa pekan kemudian, Hasan al-Bashri naik ke mimbar dan berkhotbah mengenai pentingnya memerdekakan budak. Seusai berkhotbah, orang-orang pulang ke rumah masing-masing. Dari kediaman mereka terdengar suara kegembiraan. Rupanya, tuan rumah atau majikan para budak memerdekakan mereka secara besar-besaran.
Setelah itu, rombongan budak yang dahulu datang kepada Hasan al-Bashri, datang kembali kepadanya. Selain menyampaikan terima kasih, mereka menanyakan mengapa harus menunggu lama untuk mendengarkan khotbahnya yang berkaitan dengan kemerdekaan budak tersebut.
Mendengar hal itu, Hasan al-Bashri pun berkata, “Saya tidak memiliki seorang budak. Karenanya, saya menunggu sampai saya memiliki seorang budak. Kemudian, setelah memerdekakannya, saya berkhotbah di depan orang-orang mengenai kemerdekaan budak.”
Kisah di atas, memberikan pelajaran yang sangat besar, terutama bagi para pendakwah, bahwa seorang dai harus menghayati dan merasakan situasi dan kondisi audiensinya (jamaahnya) sebelum memberikan nasihat kepada mereka.
Dengan kata lain, seorang dai harus berdakwah dengan empati. Metode dakwah seperti inilah yang dilakukan Rasulullah SAW dalam mengajak manusia menuju jalan Allah SWT. “Sungguh telah datang kepadamu seorang Rasul dari kaummu sendiri, berat terasa olehnya penderitaanmu, sangat menginginkan (keimanan dan keselamatan) bagimu, amat belas kasihan lagi penyayang terhadap orang-orang Mukmin,” (QS. at-Taubah [9]: 128).
Hal ini harus dilakukan karena obyek dakwah adalah manusia yang sikap dan perbuatannya ditentukan oleh kondisi hatinya. Hati adalah penentu fisik untuk bergerak dan merespons.
Ketika seorang dai mampu merasakan dan menghayati situasi serta kondisi jamaahnya, niscaya dakwahnya akan berbobot. Bukan hanya karena ia telah memberikan keteladanan, tapi juga karena apa yang disampaikannya merupakan bahasa hati.
Ia mengetahui perasaan hati jamaah ketika ia menyampaikan dakwahnya. Nasihat yang menyentuh hati itulah yang mampu dan diikuti oleh jamaah dari seorang dai.
Untuk itu, mari kita jadikan hal ini sebagai bekal dalam berdakwah. Sehingga, dakwah para dai mampu menjadi sarana tergeraknya umat dalam menjalankan ajaran Islam dengan baik dan benar. Wallahu a’lam.
Post a Comment