Negri 5 Menara
Karya : Ahmad Fuadi
Penerbit : PT Gramedia Pustaka Utama
Buku novel trilogi pertama karya Ahmad Fuadi ini, bercerita tentang kehidupan seorang anak kampung di Sumatera Barat, yang bercita-cita besar ingin menaklukkan impiannya. Meski pada kenyataannya, banyak hambatan yang datang silih berganti menghampirinya.
Membaca pembukaan novel ini, akan dengan mudah kita dapat menerka nuansa apa yang akan kita rasakan, yaitu nuansa Islami. Pembukaan yang cukup baik, dimana pembaca dapat berharap banyak dan berimajinasi akan menjadi apa tokoh utama dalam novel ini.
Gaya bahasa yang digunakan dalam novel inipun sangat menarik. Ringan, deskriptif, dan mengalir, serta mampu memperkaya wawasan dan kosakata berbagai macam bahasa daerah, seperti bahasa daerah Minang, Medan, Sunda, dan bahasa internasional, Arab dan Inggris.
Tidak ketinggalan catatan kaki di bagian bawah yang menjelaskan arti dari kata yang ada tersebut. Ungkapan-ungkapan dan peribahasa-peribahasa juga terdapat dalam penulisannya, seperti “Man jadda wajada” yang paling sering dicantumkan, “Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil.”
Ungkapan-ungkapan seperti ini tentunya sangat penting dalam membaca sebuah novel, hal ini akan mampu memberikan trade mark tersendiri dan yang pasti si pembuat novel akan lebih dikenang oleh hati para pembacanya.
Sinopsis
Alif Fikri adalah seorang anak desa yang cerdas dan berasal dari Maninjau, Bukittinggi, Sumatera Barat. Ia dan teman baiknya, Randai, memiliki sebuah mimpi yang sama, yaitu ingin masuk ke SMA dan melanjutkan studi ke ITB, salah satu universitas bergengsi di Indonesia itu.
Selama ini mereka bersekolah di madrasah atau sekolah agama Islam. Mereka merasa sudah cukup dalam menerima ajaran Islam dan ingin menikmati masa remaja mereka, seperti anak-anak remaja lain pada umumnya di SMA.
Alif berhasil memperoleh nilai tertinggi di sekolahnya, membuatnya merasa akan lebih terbuka kesempatan untuk Amak (Ibu dalam bahasa Minang) yang akan memperbolehkannya masuk ke sekolah biasa, bukan madrasah lagi.
Namun sayang, apa yang diharapkannya tidak sesuai dengan kenyataan, karena ternyata Amak menghapus impiannya untuk melanjutkan sekolah ke SMA. “Beberapa orang tua menyekolahkan anaknya ke sekolah agama, karena tidak cukup uang untuk masuk ke SMP atau SMA. Lebih banyak lagi yang memasukkan anaknya ke sekolah agama, karena nilainya tidak cukup. Bagaimana kualitas para buya, ustad, dan dai tamatan madrasah kita nanti? Bagaimana nasib Islam nanti? Waang punya potensi yang tinggi. Amak berharap Waang menjadi pemimpin agama yang mampu membina umatnya,” kata Amak yang membuat harapan anaknya masuk SMA pupus.
Alif tidak bisa terima dan merasa sangat kecewa akan keputusan amaknya tersebut, karena Randai yang merupakan kawan dekatnya dan sekaligus saingan beratnya, berkesempatan untuk melanjutkan sekolah ke SMA idamannya.
Akhirnya, setelah beberapa lama merenung dan menyendiri, Alif berhasil mengalahkan rasa kekecewaan yang bergemuruh di hatinya, dan Alif akhirnya pun mengalah dengan saran amaknya, mengikuti dan melanjutkan sekolah ke sebuah pesantren di pulau Jawa, Pondok Madani (PM) namanya.
Berbagai kisah sederhana nan menarik berlanjut pada kehidupan di Pondok Madani, pesantren modern yang akhirnya menampung Alif di dalamnya. Suka, duka, persahabatan, dan pengajaran-pengajaran PM yang sederhana namun mengena di hati dan jiwa siswa-siswanya.
PM sangat berbeda dengan sekolah agama lainnya, karena disini para siswa dilatih untuk menjadi intelektual yang mampu menganalisa berbagai ilmu dari sudut pandang Islam.
Sehari-harinya, selain mereka diwajibkan untuk patuh dalam melakukan rutinitas yang sesuai dengan syariah Islam, mereka juga diharuskan untuk menggunakan bahasa Arab dan bahasa Inggris sehari-harinya. Jika melanggar, tidak mungkin tidak terlepas dari hukuman, karena PM sangat ketat dengan pengawasan dan kedisiplinannya.
Biarpun masuk karena terpaksa, namun Alif ternyata mulai menyukai kehidupan di pondok. Terlebih lagi, ia sangat menikmati hidup persahabatannya dengan Sahibul Menara – sebuah sebutan penghuni PM terhadap Alif dan 5 teman lainnya – yang selalu berkumpul di bawah menara tertinggi di Pondok Madani.
Mereka itu adalah Said, Baso, Raja, dan Atang. Persahabatan lekat yang dijalin bersama oleh mereka selama menjalani pendidikan di PM, sangat cukup menjadi penghiburan rasa kekecewaan bagi Alif selama ini.
Namun di satu sisi, ada semacam kegelisahan mengetahui teman baiknya – Randai – sudah masuk SMA terbaik yang pernah mereka idamkan bersama, sudah melewati masa SMA dengan penuh tawa, dan dengan bahagia berhasil merebut impian mereka tertinggi : masuk universitas di ITB.
Pertanyaan “jadi apa aku nanti?” terus terngiang di dalam zona pikiran kepalanya, mengingat ijazah PM tidak diakui untuk melanjutkan ke universitas, walaupun sangat diakui di luar negeri.
Namun, dengan mantera ajaib yang selalu didengung-dengungkan di Pondok Madani, “Man jadda wajada - Siapa yang bersungguh-sungguh pasti berhasil” dan “Man shabara zhafira - Siapa yang bersabar akan beruntung”, serta mantra-mantra mujarab lainnya, membuat Alif beserta teman-temannya Sahibul Menara selalu optimis di dalam memandang kehidupan.
Satu lagi kelebihan novel ini, pembaca tidak akan merasa bosan membaca kehidupan di pondok, karena penulis rupanya sudah berhasil menggunakan alur cerita campuran. Ia memulai cerita dengan mengambil setting Alif yang sudah bekerja, lalu mulai masuk ke dalam ingatan-ingatan Alif akan kehidupannya dulu di Pondok Madani. Setelah cukup panjang menceritakan tentang pondok, ia mulai beralih lagi ke kehidupan Alif di masa sekarang.
Yang jelas dan pasti, berbeda dengan kisah versi filmnya yang sangat kurang menarik, buku novel ini patut diacungi jempol dan dapat dijadikan sebagai acuan dan suatu pengharapan bagi Indonesia di masa yang akan datang, setidaknya masih ada pemuda diluar sana yang rela memberikan dirinya dipakai oleh masa depan, bukan menempatkan masa depan di tangan sendiri untuk ia tentukan.
Selain mendapat penghiburan, novel ini banyak memberikan motivasi-motivasi, bahwa masih ada orang-orang yang bersungguh-sungguh untuk rela belajar dan mengasah dirinya agar dapat memberikan sumbangsih pada dunia, terutama pada tanah airnya sendiri.
Namun novel ini juga dapat menjadi kisah yang sangat mengiris hati, karena akan menyadarkan kita, bahwa hampir rata-rata generasi muda yang ada saat ini, tidak bisa menjadi seperti itu, bahkan mungkin.. Termasuk kita sendiri.
Post a Comment