(Ilyas Karim) Kisah Hidup Pengibar Bendera Sang Saka Merah Putih 17 Agustus 1945




Tanpa terasa, sudah 68 tahun umur kemerdekaan Negara Republik Indonesia yang kita cintai ini. Sudah banyak pula tentunya kisah-kisah yang mengalir di dalam mengisi kemerdekaan tersebut. Mungkin, Ilyas Karim satu-satunya orang yang masih hidup di dalam peristiwa bersejarah ini, yaitu menjadi Pengibar Bendera Sang Saka Merah Putih pada 17 Agustus 1945.

Setiap kali kemerdekaan negara ini dirayakan, Ilyas kembali teringat peristiwa bersejarah di Jl. Pegangsaan Timur No.56, Jakarta Pusat itu. Meski kini umurnya sudah 84 tahun, Ilyas masih terlihat tegap. Namun kedua matanya harus diplester agar tak terpejam. Hal ini akibat penyakit stroke yang menyerangkan beberapa tahun lalu. Meski demikian, Ilyas masih sangat fasih menceritakan peristiwa yang tak pernah dilupakannya seumur hidup itu.

Pada hari yang bersejarah itu, tiba-tiba lengan kiri Ilyas ditarik oleh Sudanco (komandan peleton) Latief Hendraningrat, petugas protokoler istana, dan beliau diminta untuk berdiri tak jauh dari tiang bendera. “Dik, kamu nanti jadi pengibar bendera. Hati-hati ya nanti memegangnya, jangan sampai sobek, (bendera) ini cuma dijahit dengan tangan oleh Bu Fatmawati,” tiru Ilyas meniru pesan Latief waktu itu. Tak ada latihan, tak ada gladi resik. Prosesi proklamasi kemerdekaan pun langsung dimulai, tak lama setelah beliau ditunjuk.

Seperti tampak pada foto yang sering kita dijumpai dalam buku-buku sejarah perjuangan, ada dua pengibar bendera saat hari proklamasi itu. Selain Ilyas, pengibar bendera lainnya adalah Sudanco Singgih. Keduanya dikelilingi Soekarno, M. Hatta, Fatmawati, dan Rahmi Hatta. Di antara enam orang yang ada di foto itu, hanya Ilyas sendiri yang masih hidup.




Meski memiliki peran besar dan nyata pada saat proklamasi kemerdekaan Indonesia, kehidupan Ilyas saat ini bisa dikatakan cukup memprihatinkan. Beliau kini tinggal di rumah yang terletak di perkampungan padat di pinggiran jalur rel kereta api di Kalibata, Jakarta Selatan. Tepatnya, di Jalan Rawajati Barat, sekitar 100 meter dari Stasiun Kalibata.

Di rumah bercat biru yang sudah kusam itu, Ilyas menghabiskan sisa hidupnya bersama istri. Bangunan sederhana yang kulit temboknya sudah banyak mengelupas disana-sini itu berukuran sekitar 10x7 meter. Beliau lantas menceritakan perihal kepindahan keluarganya dari tempat tinggalnya dulu di Asrama Siliwangi, Lapangan Banteng, Jakarta Pusat, pada tahun 1982 silam.

“Kami diusir saat itu, bukan digusur sebab memang tidak ada uang pengganti sama sekali yang kami terima,” tegasnya. Saat itu konsentrasi keluarga terpecah karena Ilyas dirawat di RSPAD Gatot Soebroto, karena terkena penyakit jantung. “Tidak ada yang berani melawan karena kondisi politik dan keamanan saat itu tidak seperti sekarang,” imbuh bapak 14 anak ini.

Anak-anaknya sekarang memang telah memiliki rumah masing-masing dan tersebar di berbagai daerah, seperti : Medan, Padang, Pekanbaru, dan Semarang, bahkan ada yang menikah dengan orang Jerman dan tinggal di sana. “Hampir semua mengajak tinggal bersama, tapi saya yang tidak mau,” ujar kakek 28 cucu tersebut.

Menurutnya, kalau ikut anak-anaknya maka dirinya akan terbatas dalam melakoni aktivitas kemasyarakatan yang masih tetap dijalani sampai sekarang. “Saya ini pejuang dan ingin tetap berjuang sampai saya mati nanti,” tandasnya.

Meski beliau diusir oleh pemerintah dari rumah tinggalnya, Ilyas tetap bersemangat melayani negaranya. Kecintaannya terhadap bangsa Indonesia patut diacungi jempol dan dijadikan contoh bagi seluruh rakyat Indonesia dimanapun berada.

Kita mencintai bangsa ini bukan karena kita mengharapkan cinta kembali atau karena kita sudah dicintai terlebih dahulu, akan tetapi cintailah bangsa ini karena memang cinta itulah yang sesungguhnya membuat hati kita melekat kepada bangsa ini.

No comments

Silahkan Berkomentar dengan kata-kata yang baik dan sopan dikarenakan blog ini untuk semua umur. Terimakasih

Powered by Blogger.