Waktu "Imsak" Tidak Pernah Diajarkan Di Dalam Islam
Imsak merupakan kebiasaan warning batas waktu bagi umat muslim yang akan berpuasa, dimana dihentikannya aktivitas makan dan minum ketika sahur berlangsung. Sebuah tradisi yang berkembang di dalam Islam, yang dengan terang-terangan mengatasnamakan ketentuan Syariat Islam.
Padahal, praktek imsak itu sendiri sebagai tradisi warning untuk menghentikan sahur tersebut, sama sekali tidak mencerminkan ajaran Islam, malah menjadi sebuah ketentuan Fiqih yang sifatnya mengada-ada.
Imsak sendiri hanya dikenal di beberapa negara di Asia Tenggara, khususnya di Indonesia. Kemungkinan yang membuat aturan imsak ini berniat agar ada waktu bagi yang menjalankan ibadah puasa untuk bersiap diri untuk melaksanakan shalat shubuh dan mempersiapkan waktu terbitnya fajar.
Namun, dia lupa, bahwa Islam yang diajarkan Rasulullah SAW sudah sempurna, sehingga tidak perlu ditambah-tambahi atau dikurang-kurangi lagi. Akibatnya, banyak umat Islam di Indonesia khususnya hingga detik ini menganggap, batas waktu sahur adalah imsak, sehingga menghilangkan ajaran Rasulullah SAW yang sesungguhnya.
Islam tidak pernah mengajarkan ajaran Imsak kepada pemeluknya. Terlebih waktu Imsak di Indonesia terlalu pagi, tidak masuk waktunya. Karena makna “FAJAR” yang dimaksud Rasulullah bukanlah fajar yang sudah dikenal oleh umat Islam di Indonesia, bahkan fajar yang dianggap Imsak oleh umat Islam sebenarnya ialah saat utama untuk memulai Sahur.
Tradisi yang salah kaprah yang sudah menjadi konsensus mazhab tertentu di Indonesia, telah menjadikan bagian agama yang senantiasa dipatuhi oleh pemeluknya. Padahal, Al Qur'an tidak menyebutkan kata FAJAR, kecuali tafsirnya harus sesuai dengan trdisi Rasulullah SAW, bukan pilah-pilah fiqih.
Firman Allah :
“Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian BENANG PUTIH dari BENANG HITAM, yaitu waktu FAJAR.”(QS. Al Baqarah : 187)
Cetakan tebal tersebut seringkali melahirkan tafsir-tafsir berbeda dikalangan ulama fiqih. Sehingga, pemahaman dalam menetapkan batas sahur terjadi 10 menit sebelum adzan shubuh. Kalau mengukur pada kebiasaan Rasulullah SAW, maka kedua waktu, waktu akhir sahur dan Adzan shubuh itu masih belum masuk waktunya.
Makna Fajar :
1. Fajar kadzib, yaitu fajar yang cahayanya naik (vertikal) seperti ekor serigala. Dengan fajar ini belum masuk waktu shalat shubuh, dan masih diperbolehkan makan dan minum. Sebagaimana diterangkan dalam hadits Jabir bin ‘Abdillah dan Ibnu Abbas radhiallahu ‘anhum bahwa Nabi shalallahu ‘alaihi wasallam berkata :
“Fajar ada dua macam (pertama), fajar yang bentuknya seperti ekor serigala, maka belum dibolehkan dengannya shalat (shubuh) dan masih dibolehkan makan. Dan (kedua) fajar yang membentang di ufuk timur adalah fajar yang dibolehkan di dalamnya shalat (shubuh) dan diharamkan makan (sahur).”(HR. Al-Hakim)
Sedangkan shubuh di Indonesia masih dalam kategori Kadzib (terlalu pagi), karena untuk menentukan waktu shubuh tersebut masuk waktunya, diperlukan ketentuan syar’i yang mengikat, tidak sekedar kompilasi fikih yang sifatnya Subyektif.
2. Fajar shadiq, yaitu fajar yang cahayanya memanjang (mendatar). Sebagaimana terdapat dalam hadits Samuroh bin Jundub dan selainnya yang diriwayatkan oleh Al-Imam Muslim secara marfu‘ dengan lafadz :
“Janganlah adzannya Bilal mencegah kalian dari sahur dan tidak pula cahaya putih ini sampai mendatar (horisontal).”
Dalam riwayat yang lain : yaitu cahaya yang mendatar bukan yang menjulang ke atas. Cahaya mendatar, dilain hadits disebut dengan WARNA MERAH BERSERAKAN. INI PULA YANG MENJADI KETENTUAN ATAU UKURAN PENETAPAN KAPAN MASUK AKHIR SAHUR DAN MASUKNYA WAKTU SHALAT SHUBUH.
“Saya mendengar Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam berkata : Sesungguhnya Bilal mengumandangkan adzan di malam hari, maka makan dan minumlah sampai mendengar adzannya Ibnu Ummi Maktum.”
Maksudnya adalah, ADZAN PERTAMA adalah awal mulanya sahur, dan Adzan kedua adalah batas akhir sahur, bukan 10 menit sebelum adzan. Kalau ketetapan fiqih yang dipakai di Indonesia, tidak akan pernah benar menjalankan perintah Allah.
“Makan dan minumlah sampai Ibnu Ummi Maktum mengumandangkan adzan, karena dia tidak mengumandangkannya kecuali jika telah terbit fajar.”
Ini lebih menunjukkan, bahwa menghentikan makan, yaitu ketika Adzan shubuh.
“TERKADANG AKU MENGHENTIKAN MAKAN SETELAH PERKATAAN MUADDZIN : 'TELAH BERDIRI SHALAT'”
Ini menunjukkan, menghentikan sahur waktu Iqamah masih boleh. Diriwayatkan oleh Abu Bakar, seorang tabi’i, nama aslinya adalah Ibnu Iyas, menceritakan bolehnya sahur sesudah adzan shubuh. Ali bin Abi Thalib juga menyatakan setelah shalat Shubuh, INILAH YANG DIMAKSUD DENGAN :
“Makan dan minumlah kalian sampai jelas bagi kalian BENANG PUTIH dari BENANG HITAM, yaitu waktu FAJAR.”
“Jika salah seorang dari kamu mendengar adzan, sedangkan ia masih memegang piring (makanan), maka janganlah ia meletakkannya, hingga ia menyelesaikan hajatnya (makannya)”(HR. Imam Ahmad, Abu Dawud, Hakim, dishahihkan oleh Adz Zahabi)
Ibnu Umar berkata,
“'Alqamah Bin Alatsah pernah bersama Rasulullah, kemudian datang Bilal akan mengumandangkan adzan, kemudian Rasulullah bersabda, 'Tunggu sebentar wahai Bilal! Alqamah sedang makan sahur'”(Hadits ini dihasankan oleh Syaikh Al Albani)
Imsak Adalah Bid’ah
(Bid’ah = Mengada ada dalam agama)
Atas dasar ini maka kebiasaan menahan makan dan minum sebelum terbitnya fajar kedua, yang dikenal dengan waktu imsak, adalah bid’ah yang munkar yang harus ditinggalkan dan diingkari oleh kaum muslimin.
Imsak sudah diingkari oleh Al-Hafizh Ibnu Hajar seorang ‘ulama besar dari kalangan Syafi’iyyah. Beliau mengatakan :
“Termasuk dalam bid’ah yang munkar adalah apa yang telah terjadi pada masa ini (masanya Al-Hafizh Ibnu Hajar-pen) berupa mengumandangkan adzan shubuh dan mematikan lampu dua puluh menit sebelum fajar kedua pada bulan Ramadhan yang dijadikan sebagai tanda berhentinya makan dan minum bagi orang yang akan shaum dalam rangka ihtiyath (kehati-hatian) dalam beribadah, termasuk di Indonesia dengan meneriakkan IMSAK, 20 menit sebelum shubuh merupakan ajaran diluar Islam. Hanya segelintir orang dari kalangan kaum muslimin yang mengetahui, bahwa Imsak itu adalah ketentuan Bid’ah, ketentuan Imsak adalah sangat tidak syar’iyah, menyalahi aturan agama.”
Karena shalat shubuh itu sendiri menjadi waktu kahir sahur sekaligus sebagai waktu menunaikan kewajiban shalat shubuh, tentunya harus tepat pula waktunya. Kalau tidak sesuai dengan syar’iyah maka bisa membatalkan shalat. Komentar Ulama tentang waktu shalat. Ibn Abdilbarr mengatakan, “Shalat tidak sah sebelum waktunya, ini tidak diperselisihkan di antara ulama.” Dari kitab al-Ijma’ karya Ibn Abdilbarr -Rahimahullah-, hal. 45. Ini menunjukkan, keharusan menjaga waktu shalat dan wajib disesuaikan dengan waktunya. Lalu seperti apa gambarannya.
1. Menurut Ibn Mandzur, al-Fajr adalah, “Cahaya Shubuh, yaitu semburat merah di gelapnya malam karena sinar matahari. Ada dua fajar, yang pertama adalah meninggi (mustathil=vertikal) seperti ekor serigala hitam (sirhan), dan yang kedua adalah yang melebar (memanjang, mustathir=memanjang) disebut fajar shadiq, yaitu menyebar di ufuk, yang mengharamkan makan dan minum bagi orang yang berpuasa. Shubuh tidak masuk, kecuali pada fajar shadiq ini.” Lisanul Arab (5/45), cet. Beirut.
2. Dalam al-Qamus al-Muhith (hal. 584, Mu`assasah ar-Risalah), disebutkan, “Fajar adalah cahaya Shubuh, yaitu semburan sinar matahari yang merah…”.
Ini tentunya tidak sekedar pendapat, tetapi dibicarakan oleh hadits-hadits nabi yang memperkuat kedudukan waktu shalat shubuh. Yang jelas waktu shubuh di Indonesia perlu ditinjau kembali.
“Sifat sinar Shubuh yang terang itu, ia menyebar dan meluas di langit, sinarnya (terangnya) dan cahayanya memenuhi dunia, hingga memperlihatkan jalan-jalan menjadi jelas.” Tafsir At-Thabari (2/167). Kalau ini menjadi panduan, waktu shubuh kita masih jauh dari kebenaran.
Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Utsaimin Rahimahullah berkata :
“Sehubungan dengan shalat Fajar, (Sebagaimana) yang diketahui, bahwa penentuan waktu yang dikenal manusia sekarang tidaklah benar. Penentuan waktu tersebut mendahului waktu Fajar yang benar dengan perkiraan minimal 5 menit sebelum masuk fajar shadiq. Sebagian saudara kami pergi keluar menuju ke tanah lapang (pedalaman) dan mereka mendapatkan, bahwa selang waktu antara waktu berdasarkan penanggalan yang dikenal manusia dan terbitnya fajar sekitar sepertiga jam (20 menit). Masalah ini sangat serius, karena itu tidak seharusnya seseorang bersegera melaksanakan shalat, dan hendaknya mengakhirkan hingga sepertiga jam (20 menit) atau 25 menit, hingga benar-benar yakin bahwa fajar telah masuk.” (Syarh Riyadhussalihin, 3/216).
Oleh karenanya, atas uraian yang sangat jelas diatas, simak firman Allah SWT berikut ini :
“Apa yang diberikan Rasul kepadamu, maka terimalah. Dan apa yang dilarang bagimu, maka tinggalkanlah.”(QS. Al Hasyr : 7)
Post a Comment