Memelihara Perut
Di dalam kitab Minhajul Abidin, Imam Ghazali (Hujjatul Islam) mengutip pernyataan Ma'ruf Al-Kurkhi yang berkata, “Apabila
engkau berpuasa, lihatlah dengan apa engkau berbuka dan dengan siapa.
Sebab, berapa banyak orang yang memakan suatu makanan, kemudian hatinya
berbalik dan tidak kembali kepada keadaannya yang semula,
selama-lamanya.”
Oleh : Imam Nawawi
Ma'ruf Al-Kurkhi melanjutkan, “Berapa
banyak makanan yang kemudian menghalangimu mendirikan shalat malam. Dan
berapa banyak pandangan haram telah menghalangimu dari membaca Al Qur'an.
Terkadang, sepotong makanan bisa menghalangi seorang hamba dari
melaksanakan shalat malam selama satu tahun.”
Imam Ghazali berkata, “Jangan harap bisa memperoleh manisnya ibadah jika engkau makan terlalu banyak. Bagaimana cahaya akan bersinar di hati tanpa ibadah? Apa nikmatnya ibadah yang tak disertai rasa manis dan kelezatan?”
Ibadah, pada hakikatnya jauh lebih nikmat dari apapun kenikmatan dunia ini. Hal itulah yang bisa kita lihat dari sosok Imam Syafi'i, seorang ulama yang mampu mengkhatamkan Al Qur'an sebanyak 60 kali dalam shalat.
Selain itu, Imam Syafi'i juga memiliki akhlak mulia dan sangat tekun ibadah. Selama 16 tahun, beliau tidak pernah makan sampai kenyang, kecuali hanya sekali saja. Dan yang sekali itu pun sangat disesalinya. Menurutnya, makan kenyang berdampak negatif terhadap daya pikir dan ibadah.
Jadi, perut terlalu kenyang saja sudah cukup membebani seorang hamba bisa merasakan lezatnya ibadah. Apalagi kalau perutnya kenyang dengan makanan haram hasil korupsi, mencuri, menipu, merampok, dan kecurangan-kecurangan lainnya. Pasti akan semakin menyusahkan dan memberatkan masa depannya, baik di dunia lebih-lebih di akhirat.
Soal perut dalam Islam ternyata bukan perkara ringan. Sebaliknya, justru sangat menentukan baik buruknya seorang Muslim termasuk layak tidaknya untuk bisa masuk surga.
Hal ini telah Rasulullah tegaskan dalam sebuah haditsnya. “Wahai Kaab bin Ujroh, shalat adalah taqarrub, puasa adalah benteng, sedekah menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Hai Kaab, tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari makanan haram karena neraka lebih dekat dengannya.” (HR. Muslim, Nasai, ad-Darami).
Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap Muslim memperhatikan apa yang dimakannya, dari mana diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya. Mustahil seorang hamba akan selamat manakala ia tidak memperhatikan makanannya, sehingga benar-benar dapat dipastikan makanannya selama ini benar-benar terjamin kehalalannya secara utuh.
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin akan berada dalam kelapangan agamanya selama tidak makan yang haram.” (HR. Bukhari). Jika tidak, maka boleh jadi ibadah dan doa-doa yang dipanjatkan tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT.
“Ada seseorang yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan pakaiannya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berucap: “Ya Rabbku, ya Rabbku,” sementara makanannya haram, minumannya juga haram, pakaiannya haram, dan dibesarkan (tumbuh) dengan makanan yang haram. Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim).
Imam Ghazali berkata, “Jangan harap bisa memperoleh manisnya ibadah jika engkau makan terlalu banyak. Bagaimana cahaya akan bersinar di hati tanpa ibadah? Apa nikmatnya ibadah yang tak disertai rasa manis dan kelezatan?”
Ibadah, pada hakikatnya jauh lebih nikmat dari apapun kenikmatan dunia ini. Hal itulah yang bisa kita lihat dari sosok Imam Syafi'i, seorang ulama yang mampu mengkhatamkan Al Qur'an sebanyak 60 kali dalam shalat.
Selain itu, Imam Syafi'i juga memiliki akhlak mulia dan sangat tekun ibadah. Selama 16 tahun, beliau tidak pernah makan sampai kenyang, kecuali hanya sekali saja. Dan yang sekali itu pun sangat disesalinya. Menurutnya, makan kenyang berdampak negatif terhadap daya pikir dan ibadah.
Jadi, perut terlalu kenyang saja sudah cukup membebani seorang hamba bisa merasakan lezatnya ibadah. Apalagi kalau perutnya kenyang dengan makanan haram hasil korupsi, mencuri, menipu, merampok, dan kecurangan-kecurangan lainnya. Pasti akan semakin menyusahkan dan memberatkan masa depannya, baik di dunia lebih-lebih di akhirat.
Soal perut dalam Islam ternyata bukan perkara ringan. Sebaliknya, justru sangat menentukan baik buruknya seorang Muslim termasuk layak tidaknya untuk bisa masuk surga.
Hal ini telah Rasulullah tegaskan dalam sebuah haditsnya. “Wahai Kaab bin Ujroh, shalat adalah taqarrub, puasa adalah benteng, sedekah menghapuskan kesalahan seperti air memadamkan api. Hai Kaab, tidak akan masuk surga orang yang dagingnya tumbuh dari makanan haram karena neraka lebih dekat dengannya.” (HR. Muslim, Nasai, ad-Darami).
Oleh karena itu, sudah sepatutnya setiap Muslim memperhatikan apa yang dimakannya, dari mana diperoleh dan bagaimana cara memperolehnya. Mustahil seorang hamba akan selamat manakala ia tidak memperhatikan makanannya, sehingga benar-benar dapat dipastikan makanannya selama ini benar-benar terjamin kehalalannya secara utuh.
Rasulullah SAW bersabda, “Seorang mukmin akan berada dalam kelapangan agamanya selama tidak makan yang haram.” (HR. Bukhari). Jika tidak, maka boleh jadi ibadah dan doa-doa yang dipanjatkan tidak akan dikabulkan oleh Allah SWT.
“Ada seseorang yang melakukan perjalanan jauh, rambutnya kusut dan pakaiannya berdebu. Ia mengangkat kedua tangannya ke langit seraya berucap: “Ya Rabbku, ya Rabbku,” sementara makanannya haram, minumannya juga haram, pakaiannya haram, dan dibesarkan (tumbuh) dengan makanan yang haram. Bagaimana mungkin doanya akan dikabulkan?” (HR. Muslim).
Oleh : Imam Nawawi
Post a Comment